PASAL I.
BAB AL-MIYAH (AIR-AIR)
Shalat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu diantaranya adalah thaharah (bersuci). Berdasarkan sabda Rasulullah salallahu’alaihi wasallam. “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci.” (Mutafaq ‘Alaihi)
Barangsiapa yang tidak bersuci dari hadas besar maupun kecil, serta bersuci dari najis, maka shalat yang dia kerjakan tidak sah.
Thaharah ada dua macam, yaitu dengan menggunakan air dan atau dengan Tayamum, akan tertapi dengan menggunakan air adalah lebih utama. Setiap air yang tercurah dari langit atau keluar dari permukaan bumi adalah suci dan mensucikan. Air dapat mensucikan dari hadas dan kotoran meskipun warna, rasa, ataupun baunya telah berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci. Berdasarkan sabda Rasulullah salallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan dan tidak ternajisi oleh sesuatu.” (H.R. Ashabu As-Sunan).
Jika salah satu dari sifat air itu telah berubah karena tercampur dengan najis, maka air itu menjadi najis dan jangan digunakan untuk bersuci. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Pendapat yang benar adalah, air itu terbagi dua jenis: Air yang suci lagi mensucikan dan air yang najis lagi menajisi. Batas pemisah antara keduanya adalah perubahan salah satu dari sifat-sifatnya karena benda najis atau kotor. Bilaman warna, bau tau rasanya telah berubah karena bercampur dengan benda najis maka air itu telah berubah menjadi air yang najis lagi menajisi. Sama halnya perubahan warna, bau atau rasanya itu sedikat ataupun banyak pada tempat yang suci maupun selainnya. Samahalnya dengan percampuran maupun tanpa percampuran. Adapun air yang terkena najis namun warna, bau atau rasanya tidak berubah maka statusnya tetap suci lagi mensucikan.” (Silakan lihat Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah hal 7).
Jika seorang muslim meragukan adanya najis pada air, pakaian, lantai atau yang lainnya, maka hukumnya suci. Atau dia yakin sesuatu itu suci namun ada keraguan dalam hatinya mungkin terdapat najis padanya, maka hukumnya suci. Berdasarkan sabda Rasulullah salallahu’alaihi wasallam, kepada seorang laki-laki yang merasakan sesuatu (buang angina) ketika sedang mengerjakan shalat. Beliau bersabda: “Jangan engkau berpaling hingga engkau benar-benar mendengar suara atau mencium baunya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
BAB AL-ANIYAH (BEJANA-BEJANA)
Seluruh bejana hukumnya boleh dipakai, yaitu selain bejana yang terbuat dari emas dan perak atau yang disepuh dengan keduanya. Begitupula bejana yang disepuh dengan perak dalam kadar yang sedikit dan untuk keperluan, maka hukumnya juga boleh dipakai.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata dalam kitab Al-Qawaid wal Furuuq hal 155: Diantara bentuk klasifikasi yang benar adalah klasifikasi dalam hal penggunaan emas dan perak. Ada tiga jenis penggunaan emas dan perak:
- Digunakan sebagai bejana dan sejenisnya.
- Penggunaan ini haram untuk kaum pria maupun wanita.
- Digunakan sebagai bagian pakaian.
- Penggunaan ini hanya untuk kaum wanita dan tidak halal bagi kaum pria.
- Digunakan sebagai bahan pakaian perang atau alat-alat perang. Penggunaan ini boleh untuk pria maupun wanita.
Berdasarkan sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam:
“Jangan kalian minum dari bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula makan dengan piring yang terbuat dari keduanya. Karena sesungguhnya (bejana-bejana) itu untuk mereka (orang-orang kafir) didunia dan untuk untuk kalian di akhirat.” (Muttafaqun ‘Alaihi/H.R. Al-Bukhari:IX/554 dan Muslim:2067).
BAB ISTINJA’ DAN ADAB-ADAB BUANG HAJAT
Ketika masuk ke dalam WC disunnahkan membaca do’a: “Bismillah, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (H.R. Al-Bukhari: I/242 dan Muslin).
Jika keluar darinya hendaklah mendahulukan kaki kanan dengan mengucapkan Ghufraanaka (aku memohon ampunan-Mu ya Allah). (H.R. Ahmad: VI/155, Abu Dawud:30, Ibnu Majah:300, Ibnu Hibban:1431, Ad-DaarimiI/147, At-Tirmidzi:7, ia berkata:Hasan gharib, Al-Hakim dalam Mustadrak:I/158, dan dinyatakan shahih olehnya: Abu Hatim berkata dalam kitab Al-‘Ial:I/43, “inilah hadits yang paling shalhh dalam bab ini.” dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah , Ibnul Jaarud, An-Nawawi dan Adz-Dzahabi).
Atau juga bisa mengucapkan “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dari diriku dan memberi keafiatan.” (H.R. Ibnu Majah:301, dari Anas bin Malik. Didalam sanadnya terdapat perawi bernama Ismil dan Muslim Al-Makki, Ia perawi dhaif. Al-Bushairi berkata: ”Ulama sepakat atas kedhaifannya, hadits ini dengan lafal diatas tidak shahih.” Abul Hasan As-Shindi berkata dalam catatan kaki Sunan Ibnu Majah: “Diriwayatkan juga dari penulis pada sejumlah buku induk.” Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Sunai (21) dari hadits Abu Dzar. Ibnu Hajar telah memberikan komentar yang sangat panjang tentang hadits ini dalam Takhrij Al-Adzkar. Sebaiknya merujuk kesana.
Adab-adab buang hajat berikutnya adalah:
- Hendaknya berlindung dibalik dinding atau sejenisnya.
- Hendaknya menjauh dari pandangan manusia.
- Dilarang membuang hajat di beberapa tempat, antara lain:
- Di jalan.
- Tempat yang bisa digunakan untuk duduk-duduk.
- Di bawah naungan pohon yang berbuah.
- Di tempat-tempat yang bisa mengganggu orang lain.
- Dilarang menghadap ke kiblat dan membelakanginya.
Berdasarkan sabda Rasulullah: SAW “Jika kalian hendak buang hajat atau buang air kecil, janganlah menghadap ke kiblat atau membelakanginya. Tapi menghadaplah ke timur atau ke barat (menyeronglah dari arah kiblat.” (H.R. Bukhari: I/498 dan Muslim:264).
- Setelah selesai buang hajat, maka hendaklah ia:
- Beristijmar dengan tiga buah batu atau benda lainnya dan membersihkan bagian yang terkena najis.
- Kemudian beristinja’ dengan air.
Jika seseorang hanya melakukan salah satu diantara keduanya(beristijmar/beristinja’), maka telah cukup. Dilarang melakukan Istijmar dengan segala sesuatu yang dihormati(uang, emas, makanan, dll). Selain dari itu juga dilarang beristijmar dengan kotorang hewan dan tulang, karena kotoran hewan dan tulang merupakan makanan Jin dan Syetan. Sebagaimana hal ini dilarang oleh Rasulullah (H.R. Al-Bukhari:I/255 dari hadits Abu Hurairah dan Muslim:263 dari hadits Jabir).
Setelah selesai buang hajat, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Pendapat yang benar adalah tidak dianjurkan mengusap atau menghentakan kemaluan kaerna tidak ada hadits yang shahih dalam masalah ini. Dan juga hal itu dapat menimbulkan perasaan was-was. (Silakan melihat Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah:11).
PASAL II.
BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN MEMBERSIHKAN SESUATU YANG TERKENA NAJIS
Cara mensucikan badan, pakaian, lantai dan sebagainya yang terkena najis, cukup dengan menghilangkan najis itu dari tempatnya. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menetapkan bahwa jika najis telah hilang, dengan cara apapun hilangnya baik dengan air atau yang lainny, maka benda itu telah suci. Demikian juga bila kotoran-kotorannya menghilang atau berubah wujud dan berubah sifat dan wujudnya menjadi suci maka benda itu telah dianggap suci. Berdasarkan pendapat tersebut, minyak yang terkena najis bisa disucikan dengan cara menyulingnya hingga kotoran yang ada menghilang. (Silakan lihat Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah:22).
Didalam syari’at tidak disyaratkan untuk mencucinya berkali-kali, kecuali jika terkena najis anjing disyaratkan mencucinya sebanyak tuju kali, dan salah satunya dengan dengan menggunakan tanah (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari:I/274, dan Muslim:279).
Benda-benda yang tergolong najis:
- Air seni manusia.
- Tinja Manusia.
- Darah, hanya saja dimaafkan jika kadarnya sedikit. Dan sama statusnya darah yang memancar dari binatang (yang dimakan dagingnya) ketika disembelih. Adapun darah yang tertinggal pafa urat hukumnya suci.
- Kencing dan kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menetapkan bahwa Bighal(peranakan kuda dan keledai)dan keledai yang masih hidup, hukumnya suci sepertihalnya kucing. Air liur, keringat dan bulunya suci. Rasulullah juga sering menunggang Bighal dan keledai dan tidak mencucui bagian tubuh beliau yang tersentuh dengannya dan tidak juga memerintahkan agar menjauhinya. Adapun dagingnya tidak boleh dimakan. (silakan lihat Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah 22).
- Adapun binatang buas, seluruhnya najis.
- Bangkai. Kecuali mayat manusia, bangkai hewan yang tidak mengalirkan darah (serangga misalnya lalat, nyamuk dan sejenisnya), ikan dan belalang, hukumnya suci.
Dalil-dalilnya adalah:
Firman Allah subhanahu wata’ala:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang tertanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untukberhala. Dan (diharamkan juga)mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, senbab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-K, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agamamu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Maidah:3).
Sabda Rasulullah:
“Seorang mukmin tidak najis baik ketika hidup ataupun sesudah mati” (H.R.Al-Bukhari:I/390, Muslim:371, Al-Hakim:I/542).
Dan juga sabda beliau:
”Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Adapun dua darah adalah hati dan limpa”(H.R.Ahmad:II/97, Ibnu Majah:3314, Ad-Daraquthni:25, Al-Baihaqi:I/254).
Sedangkan kencing dan kotoran binatang yang dimakan dagingnya adalah suci.
Begitupula air mani manusia hukumnya suci. Berdasarkan sebuah hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah SAW mencuci mani yang masih basah dan mengerik mani yang telah mengering”. (H.R.Al-Bukhari:I/332, dan Muslim:288,289,290).
Air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan, cukup memercikkannya dengan air. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
“Kencing anak perempuan dicuci, dan kencing anak laki-laki cukup dipercikkan dengan air.” (H.R.Abu Dawud:376, An-Nasaa’i:I/158, At-Tirmidzi:610).
Jika dzat najis itu telah terangkat (hilang), maka hukumnya telah suci meskipun ada bekas warna ataupun baunya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW kepada Khaulid binti Yasar Radhiyallahu ‘anha tentang darah haidh: “Cukup engkau mencucinya dengan air dan tidaklah masalah jika masih berbekas.”(H.R.Ahmad:II/364,380, Abu Dawud:365, Al-Baihaqi:II/408).
Disusun oleh: Amarudin al-Mubarok, santri Ma’had al-Mubarok Angkatan Ke-1